Peluncuran dan Diskusi Buku EPA II Makassar-Australia

By Admin


nusakini.com - Buku pertama tentang ekspedisi yang pernah dilakukan Korps Pecinta Alam (KORPALA) Universitas Hasanuddin diluncurkan. Menariknya, ekspedisinya tentang pelayaran kedua mereka menggunakan perahu tradisional sandeq, yaitu Ekspedisi Pelayaran Akademis II dari Makassar ke Australia tahun 2011 lalu.

Peluncuran dan bedah buku Ekspedisi Pelayaran Akademis II: Menapaktilasi Jalur Pencari Teripang Makassar – Australian dilangsungkan di Aula Prof. Mattulada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Rabu 15 November 2016. Menghadirkan lima pembicara, selain Ostaf Al Mustafa sang penulis, juga menghadirkan Dr. Didik Pradjoko (Dosen Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia), Prof. Dr. drg. Arsusan Arsin, M. Kes. (Ketua Umum pertama Korpala Unhas), Muhammad Neil, S. Sos., M. Si. (Dosen Departemen Antropologi Maritim Universitas Hasanuddin), dan saya, Muhammad Ridwan Alimuddin, peneliti kemaritiman Mandar yang sedikit banyak terlibat dalam persiapan ekspedisi.

Seremoni peluncuran buku ditandai dengan penyerahan buku dari Ketua Umum Korpala Unhas periode saat ini, Arman Bungaran, kepada Wakil Rektor III Universitas Hasanuddin, Dr. Ir. Abdul Rasyid J., M. Si.

“Kesulitan dalam menulis buku ini diantaranya adalah tidak adanya penulis Indonesia baik dari Universitas Hasanuddin maupun dari Indonesia yang secara spesifik menulis tentang pelayaran dari Makassar ke Marege mencari teripang. Prof. Lapian pun dalam bukunya yang legendaris Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut juga tak menyinggung banyak tentang kegiatan tersebut. Di tesis Pak Edward Poelinggomang pun demikian. Untuk itu kita lebih banyak menggunakan pustaka-pustaka yang ditulis ilmuwan Australia,” terang Ostaf si penulis.

Ostaf juga menyampaikan bawah apa yang dia tulis adalah realitas keenam. Artinya, ada realitas-realitas sebelumnya yang memberi dia jarak dengan realitas nyata. Sebagai misal, kegiatan ekspedisi itu sendiri. Si penulis tak terlibat dalam pelayaran. Dia menggunakan catatan-catatan harian para atlet, istilah yang digunakan menyebut pelaku ekspedisi pelayaran (juga kegiatan-kegiatan Korpala Unhas pada umumnya), saat berlayar. Belum lagi antara peristiwa pelayaran yang berlangsung ratusan tahun lampau. Ketika kehadiran orang Makassar di utara Australia disaksikan penjelajah dari Eropa untuk kemudian ditulis. Catatan itu dikutip peneliti Australia, hasil catatan itu diterjemahkan, dikutip lagi penulis Indonesia untuk kemudian itulah yang dibaca si penulis buku. Jadi ada jarak.

Dosen dari Universitas Indonesia, Dr. Didik Pradjoko, menjelaskan tentang aspek-aspek apa saja yang disinggung dalam buku. Misalnya ada tentang sejarah, ada tentang jenis perahu, jalur pelayaran, dan sebagainya. Sedang Arsusan Arsin hanya memberi impresi sebagai mantan ketua umum Korpala Unhas. Bahwa apa yang dihasilkan adik-adiknya adalah prestasi membanggakan.

“Saat adik-adik dari Korpala menyampaikan ide ini kepada saya, saya membayangkan dan mengharapkan dokumentasi yang dihasilkan kira-kira seperti film Kontiki. Pelayaran yang dilakukan harus melibatkan banyak disiplin ilmu. Ada antropologi, sejarah, biologi, navigasi dan lain. Itu yang harus dimiliki EPA nantinya,” demikian cerita awal Muhammad Neil disesinya.

Sebagai antropolog Neil memberi pandangannya bahwa buku ini bisa menutupi celah di antara jarangnya buku-buku kemaritiman. Apalagi itu ditulis oleh mahasiswa Universista Hasanuddin. “Setidaknya buku ini membuktikan bahwa mahasiswa Unhas itu ternyata bisa juga menulis,” tegas Neil

Informasi-informasi menarik juga dikemukakan. Misalnya, masih berlangsungnya pelayaran ke Australia belum lama ini. Nelayan-nelayan Makassar atau Bugis itu hanya beberapa yang berangkat langsung dari sini. Mereka itu singgah di pulau-pulau Selayar, merekrut para penyelam. Itu juga yang terjadi dulu. “Saya sangat yakin bahwa yang lebih banyak berperan sebagai pekerja di perburuan teripang adalah orang Bajau. Mereka penyelam-penyelam tangguh. Kita ini, orang Makassar dan Bugis, baru jadi penyelam tahun-tahun 80-an ketika teknologi kompressor mulai digunakan. Sebelum itu hanya orang Bajau yang berani menyelam ke kedalaman tempat teripang berada,” ungkap Muhammad Neil.

Saya sependapat dengan yang disampaikan tersebut. Bahwa meskipun kita kekurangan referensi akan kejadian masa lampau, metode-metode atau apa yang dilakukan orang dulu masih ada keterulangannya saat ini. Misalnya, seperti yang saya perlihatkan di tampilan (slide), kegiatan perburuan nelayan Galesong (Takalar, Suku Makassar) di Kepulauan Bala-balakang. Bagaimana mereka di sana tinggal beberapa saat, bagaimana mereka makan bersama, dan bergaul dengan masyarakat setempat.

Saya juga menyampaikan masukan bahwa idealnya di dalam buku dimasukkan banyak foto-foto kegiatan. Buku yang ada saat ini hanya mencantumkan dua foto, itu pun peta pelayaran. Foto ada beberapa tapi di sampul depan dan belakang buku saja.

Di awal sesi saya menyampaikan apresiasi terhadap EPA II dan buku yang dihasilkannya. Sejauh pencatatan saya, ada banyak ekspedisi pelayaran ke luar negeri yang berangkat dari Indonesia. Diantaranya adalah Pinisi Nusantara Jakarta – Vancouver Kanada (1986), Padewakang Hati Marege Makassar – Darwin (1987), Perahu Borobudur Damar Sagara Makassar – Jepang (1992), Sandeq EPA I Makassar – Brunai – Singapura – Jakarta (1996), Perahu Samudera Raksa Kangean – Afrika Barat (2002), Sandeq Mandar – Thailand (90-an), Perahu bercadik Mandar – Jepang (2003), Pakur Mandar – Okinawa Jepang (2009), dan Sandeq EPA II Mandar/Makassar – Darwin (2011).

Keunikan dari EPA II adalah tidak diikuti pelayar asli (nelayan, pelaut); tidak ada orang Mandar-nya, murni seratus persen ide, riset, aksi oleh pribumi, non asing (kecuali urusan di Australia); dana terbatas; persiapan bertahun-tahun pelaksanaan singkat (EPA I 6 bulan, EPA II 41 hari), perahu bekas, dan ada publikasi buku yang mudah didapat publik (dan murah).

Usai paparan dari pembicara, dilanjutkan sesi diskusi. Kegiatan peluncuran dan bedah buku yang diikuti ratusan mahasiswa sekitar pukul tiga sore berakhir menjelang pukul lima. (ridwan)